Jakarta, Bintangtv.id- Industri tambang emas dan tembaga di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) hampir habis. Selama 37 tahun bercokol dan 24 tahun berproduksi belum mampu mengungkit pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, perikanan hingga SDM.
Ini adalah tambang kedua terbesar di Indonesia setelah Freeport, tapi di sana ada 21,77 ribu penduduk miskin dari populasi 145 ribu jiwa penduduk dan 3,54 % pengangguran terbuka urutan ketiga terbesar kabupaten/kota se NTB.
Statistik mencatat, tingkat pengangguran di daerah ini tahun 2023 mencapai 4,14 ribu dari 150 ribu jiwa penduduk. Tingginya tingkat pengangguran boleh jadi karena sektor lain tidak ngefek kepada penyerapan tenaga kerja.
Kenyataan lain, anomali PDRB tinggi tetapi belanja barang dan jasa konten lokal tidak lebih 5 %. Artinya uang lebih banyak justru beredar di luar daerah, pasti tidak ngefek ke perekonomian setempat, secara teoritis disebut kebocoran regional (regional leakeges).
Apa yang terjadi di KSB mempertegas pendapat ekonom Inggris Ricard Auty seperti yang terjadi di Afrika thn 90 an Sebagai “the curse of natural resources” atau lebih popular sebagai teori “kutukan tambang”. Anomali SDA yang kaya raya tetapi tidak berdampak besar pada masyarakat sekitar, KSB adalah satu contoh nyata.
Melihat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di KSB tahun 2023 berdasarkan bidang usaha bahwa sektor tambang jauh melejit sendiri hingga 82,16%, sementara sektor pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan hanya berkontribusi 3,68%. Sisanya dari 17 item bidang usaha lain yang nilainya sangat, sangat kecil.
Kabupaten Sumbawa Barat cukup lama dalam wilayah ‘nyaman’(confort zone). Nyaris tidak ada lompatan berarti terhadap sektor lain yang merupakan mata pencarian turun temurun selama berabad2. Setelah hampir habis baru menyadari (jika sadar) bahwa gagal memanfaatkan keberadaan tambang untuk memicu perekonomian dan sumber daya alam terbarukan.
Tentu saja ini bukan semata kesalahan perusahaan, mereka telah membayar kewajiban pajak dan PNBP yang diperintah UU.
Pemerintah sepanjang sejarah KSB sejak 2003 gagal memanfaatkan pertambahan nilai tidak langsung berupa belanja modal (capex) dan belanja operasional sehari2 perusahaan berupa sandang pangan perumahan yang nilainya justru sangat besar.
Pemanfaatan pertambahan nilai yang saya maksud bukan untuk kepentingan elit daerah dan keluarga/kelompok tetapi belanja barang dan jasa perusahaan melalui perusahaan lokal secara luas.
Pasca tambang habis, maka ekonomi pasti akan anjlok sedemikian rupa. Lebih dari 6000 tenaga kerja akan disalurkan kemana, Rp 24,3 triliun terhadap PDRB di mana dicari ? Lebih dari seperempat abad waktu emas itu menguap sia-sia. Kendatipun sedang pembangunan smelter, namun nilai tambah dalam bentuk pajak, PNBP, maupun tenaga kerja tidak lagi sebesar daerah penghasil.
Itu baru efek kepada sumber daya alam terbarukan. Bagaimana pengaruhnya terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), melalui beasiswa, pelatihan dll ? ke mana penerima bea siswa yang pernah diberikan zaman pemegang saham Amerika dulu sebelum diambil alih perusahaan Nasional 2016 ?
Apa pun yang telah terjadi, waktu tidak dapat diputar mundur. Blok Elang Dodo di Kabupaten Sumbawa titik baru yang mulai dieksplorasi hendaknya ambil pelajaran dari KSB. Begitu pula blok baru di Hu’u Dompu.
Jangan terlena dalam confort zone tambang. Karena kenyataannya itu semua hanyalah ‘fatamorgana’ – tipuan mata. Indah dalam angka tapi perih di dunia nyata. (Mada Gandhi).